Coffee Morning Diskominfo Torut bersama Wartawan Bahas Potret Buram Dunia Kewartawanan di Toraja
-->

Advertisement Adsense

Coffee Morning Diskominfo Torut bersama Wartawan Bahas Potret Buram Dunia Kewartawanan di Toraja

60 MENIT
Jumat, 16 Februari 2024

Wakil Bupati Toraja Utara Bersama Kepala Dinas, Sekertaris serta Kabid Kominfo (redaksi 60menit.co.id)


60MENIT.co.id, Toraja Utara | Dinas Komunikasi Informasi dan Persandian (Diskominfo SP) Kabupaten Toraja Utara gelar Coffee Morning bersama Wartawan dalam rangka Hari Pers Nasional 2024, Dalam  tema : Mengawal Transisi Kepemimpinan National Dan Menjaga Keutuhan Bangsa.

Coffee Morning ini digelar diruang Pola Kantor Bupati Marante  Toraja Utara, Jumat (16/02/2024).


Berbagai hal yang dibahas, terutama soal wartawan yang muncul tanpa berita (Muntaber).

Avelino Agustinus dan diskominfo menyampaikan, Sebagian orang mengatakan, untuk menjadi wartawan dewasa  ini terbilang gampang. Ibarat pemain sulap, cukup membaca mantra ‘Sim Salabim Abrakadabra’ maka jadilah seseorang itu sebagai wartawan lengkap dengan kartu persnya.


Tapi tunggu, yang dimaksud di sini tentu bukan wartawan profesional yang fungsi dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan pengolah informasi untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita kepada masyarakat, melainkan oknum wartawan  dari media yang tidak jelas model pengelolaannya. 


Memang, Tutur Avelino, dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan, setiap warga negara dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga tidak heran jika beberapa tahun belakangan kian banyak bermunculan media cetak baru yang hampir sebagian besar hanya mendompleng untuk sekedar “numpang hidup” di lahan profesional wartawan disamping untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwasanya mereka juga adalah pers.


Yang ironis, kebebasan setiap orang atau kelompok untuk mendirikan perusahaan pers  tersebut, tidak dibarengi dengan  ketentuan  standar  kompetensi bagi setiap orang yang akan melakoni profesi  wartawan, sehingga karena itu pula dunia pers sekarang tampaknya makin banyak dihuni oleh oknum wartawan  jadi-jadian bahkan pemimpin redaksi dadakan yang hampir sebagian besar tidak memiliki pengetahuan tentang seluk beluk pers, apalagi kode etik jurnalistik. Modalnya cukup memiliki badan hukum dan biaya cetak sesekali kemudian menerbitkan kartu pers Yah, seperti inilah potret buram wajah dunia kewartawanan saat ini, teutama pasca runtuhnya rezim orde baru. Siapa saja dengan seketika bisa jadi wartawan bahkan pemimpin redaksi sekali pun. Jika sebelumnya ada istilah Wartawan Muntaber (muncul tanpa berita), Wartawan ‘jadi-jadian’, WTS (wartawan tanpa surat kabar), Wartawan Bodrex,  dan lain-lain sebagainya, sekarang ada lagi  istilah Wartawan Nagabonar (ibarat seorang kopral mengaku jenderal) wartawan CNN (Cuma Nanya’ Nanya’), wartawan Media “Tempo” yang maksudnya terbit tempo-tempo.


Masih kata Henok, Dalam berbagai pertemuan aparat kehumasan dengan jajaran pers, persoalan oknum wartawan ‘jadi-jadian’ ini selalu menjadi salah satu topik serius yang dibicarakan karena dianggap sering “memusingkan”, namun sejauh ini belum ditemukan solusi tepat untuk mengantisipasinya. Apalagi sebagaimana telah disebutkan,  dalam Bab IV Pasal 9 ayat (1) UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan; setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, sehingga boleh jadi ini dijadikan alasan para oknum wartawan ‘jadi-jadian’ tersebut untuk mendapat pengakuan publik. Soal apakah kemudian dalam prakteknya mereka dianggap telah “mengotori” dunia kewartawanan, karena telah mendompleng hidup pada profesi ini dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti dengan terang-terangan meminta uang dengan alasan untuk transport pada kegiatan yang dilaksanakan suatu instansi, memeras, membodoh-bodohi masyarakat dan lain-lain yang merupakan perbuatan tercela, bagi sebagian dari mereka mungkin itu dianggap urusan lain atau bahkan mana urus?


Herman Barrung Wartawan Media Pedoman Rakyat  menyorot permasalahan wartawan gadungan ditoraja yang sampai sekarang masih mengusik kehidupan pers yang menjalankan jurnalisme secara profesional.


"Masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai sampai sekarang, padahal di negara lain tidak ada lagi yang namanya wartawan abal-abal atau wartawan bodong. Misalnya, Singapura, Malaysia, Filipina dan Timor Leste tidak ada tempat bagi wartawan abal-abal," katanya.


Sementara Saldi Samara Wartawan Media MCW, juga mengatakan aktivitas wartawan gadungan dan media abal-abal merupakan permasalahan Di Kabupaten Toraja Utara. Ada terdapat wartawan gadungan dan media abal-abal, yang menyebabkan aktifvtas pers profesional terganggu.


Sepak terjang wartawan gadungan dan media abal-abal itu, kata dia, menyebabkan terjadi pemborosan anggaran daerah dan anggaran negara ketika anggaran tersebut dipergunakan untuk membiayai dan bekerja sama dengan media abal-abal.

Suasana COFFEE MORNING Diskominfo Toraja Utara bersama awak media.


Hal senada disampaikan Henok Palungan Wartawan Media Toraja Times, Ia menyatakan bahwa di berbagai daerah ditemukan pemda bekerja sama dengan media abal-abal sehingga menimbulkan permasalahan hukum.


Dalam kasus lainnya, ada oknum pejabat bermasalah di berbagai daerah suka bekerja sama dengan kelompok wartawan abal-abal agar tidak ditulis negatif. Hubungan mereka merupakan simbiosis mutualistis, saling menguntungkan.


Henok pendapat bahwa Dewan Pers, komunitas pers, pihak kepolisian dan kejaksaan memiliki peran menangani permasalahan wartawan gadungan dan media massa abal-abal.


Menurut dia uji kompetensi wartawan dan sertifikasi perusahaan media massa yang dilaksanakan secara profesional merupakan upaya untuk mencegah lahirnya media abal-abal dan wartawan gadungan.


"Sudah ada aturannya yaitu pedoman dan standar perusahaan pers. Ini dilaksanakan secara profesional," Kunci Henok.      


(sal)