Ketum Sundawani Wirabuana, Robby Maulana Zulkarnain: Sejak Awal Peradaban, Sejarah Telah Berulang Mengajarkan Satu Kebenaran
-->

Advertisement Adsense

Ketum Sundawani Wirabuana, Robby Maulana Zulkarnain: Sejak Awal Peradaban, Sejarah Telah Berulang Mengajarkan Satu Kebenaran

60 MENIT
Sabtu, 06 Desember 2025

Ketum Sundawani Wirabuana, Robby Maulana Zulkarnain (kostum hitam hitam/tengah) (ridho)


60Menit.co.id, SubangRobby Maulana Zulkarnain selaku Ketua Umum Sundawani Wirabuana bicara soal moral dan peradaban yang benar untuk mencapai suksesi berbangsa yang maju dan utuh. Ia mengupas sejarah internasional demi terwujudnya kesatuan dan persatuan, bangsa yang kokoh menghadapi perkembangan zaman, seperti terurai di bawah ini.


Sejak awal peradaban, sejarah telah berulang-ulang mengajarkan satu kebenaran sederhana tetapi keras: bangsa yang bersatu akan tumbuh, bangsa yang terpecah akan tumbang. Dari padang pasir tempat Nabi Muhammad SAW menata masyarakat Madinah, dari dataran Tiongkok ketika Sun Tzu menulis strategi peperangannya, hingga kerajaan-kerajaan besar Eropa dan Nusantara, semuanya menggemakan pesan yang sama.


Persatuan adalah fondasi kejayaan, sedangkan perpecahan adalah awal kehancuran.

Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, “Persatuan, bila dibangun atas dasar keadilan dan kebenaran, lebih kuat daripada kekuatan senjata.”


Namun sejarah juga menunjukkan bahwa perpecahan tidak selalu datang dari luar. Sering kali ia disusupkan secara halus, tak terlihat, merayap seperti asap di balik tirai. “Invisible Hand,” kekuatan tanpa wajah yang bekerja melalui provokasi, manipulasi informasi, dan rekayasa sosial, selalu mencari cara untuk membuat bangsa saling mencurigai, saling membenci, bahkan saling meniadakan.


Di era modern, tak perlu lagi meriam untuk meruntuhkan sebuah negara, cukup arsenal hoaks, permainan algoritma, dan fragmentasi digital yang merusak kepercayaan sosial. Inilah medan perang baru, perang yang tidak terlihat tetapi nyata.


Indonesia dalam Bayang-Bayang yang Sama Indonesia dengan 17.000 pulau, 13.000 suku bangsa, ratusan bahasa, dan tradisi yang tak terhitung, adalah anugerah sekaligus ujian. Sebagaimana diungkap Nelson Mandela


“Keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman, bila kita memilih untuk melihatnya sebagai kekayaan.”


Namun di tengah badai globalisasi, keberagaman ini dapat menjadi retakan bila tidak dirawat. Modernisasi yang serba digital membawa peluang kemajuan, tetapi juga menimbulkan kegaduhan, hilangnya orientasi budaya, terputusnya jembatan antargenerasi, polarisasi politik, dan semakin kuatnya infiltrasi Invisible Hand yang mengadu kelompok satu dengan lainnya.


Globalisasi mempercepat segalanya, informasi, ide, ambisi, tetapi tidak mempercepat kebijaksanaan. Di sinilah bangsa membutuhkan ruang, wadah, dan kesadaran kolektif untuk menjaga identitas dan keutuhan.


FKN sebagai Kapal Nabi Nuh di Tengah Badai Perpecahan

Di tengah konteks itulah, Forum Keberagaman Nusantara (FKN) yang digagas oleh YM. Tuanku Arif Rahmansyah Marbun Tuanku Alamsyah dan dideklarasikan pada 27 Oktober 2025 di Ternate, hadir bukan sekadar sebagai forum, tetapi sebagai kapal moral.


Metafora “kapal Nabi Nuh” menemukan tempatnya:

kapal yang tidak hanya membawa jasad, tetapi membawa nilai, tidak hanya menjemput keselamatan, tetapi juga menanamkan harapan baru.


FKN bukan sekadar wadah silaturahmi. Ia adalah upaya strategis untuk:

merawat keberagaman, memperkokoh persatuan, membangun jembatan antaragama, antarsuku, dan antargenerasi, sekaligus memagari masyarakat dari infiltrasi kekuatan-kekuatan yang bekerja dalam sunyi.


Sebagaimana pernah ditulis oleh filsuf George Santayana, “Mereka yang tidak belajar dari masa lalu, akan dihancurkan oleh masa depan yang serupa.”


FKN mencoba memastikan agar Indonesia tidak mengulangi luka-luka lama dan tidak terjebak dalam jebakan yang sama.


Generasi Z -  Ombak Baru yang Membutuhkan Pantai Nilai

Dominasi Generasi Z hari ini adalah realitas besar. Mereka progresif, cepat, serba digital, terbuka, sebuah energi besar yang bila diarahkan dengan tepat, mampu mendorong bangsa melesat maju. Tetapi sebagaimana ditegaskan oleh John F. Kennedy,


“Generasi baru tidak bisa hidup hanya dengan warisan; mereka membutuhkan tantangan.

Tantangannya adalah bagaimana mengikat semangat mereka dengan akar budaya dan nilai luhur kebangsaan. Bila generasi tua menyimpan kearifan sejarah, generasi muda menyimpan daya akselerasi. Tanpa jembatan, keduanya hanya menjadi dua gelombang yang saling menjauh.


FKN hadir sebagai jembatan itu, menautkan memori lama dengan harapan baru, menghubungkan hikmah leluhur dengan visi masa depan.


Persatuan sebagai Jalan Keselamatan

Pada akhirnya, Indonesia tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan kesadaran. Tidak hanya membutuhkan teknologi, tetapi juga karakter, tidak hanya membutuhkan kebebasan, tetapi juga kebijaksanaan.


“Invisible Hand” akan selalu bekerja, mencari celah dari ketidaktelitian bangsa dalam menjaga dirinya. Tetapi selama bangsa ini punya ruang untuk bertemu, berdialog, dan saling merawat, selama masih ada kapal yang siap membawa nilai-nilai kebaikan melintasi badai Indonesia tidak akan tenggelam.


Seperti kata R.A.A. Wiranatakusumah V, tokoh Sunda yang sepanjang hidupnya menjaga harmoni antara adat, agama, dan negara. Beliau tidak hanya berbicara tentang persatuan, tetapi menjadikannya prinsip hidup dan dasar kepemimpinan. 


Pesan beliau yang sering dikemukakan dalam berbagai kesempatan dapat dirangkum dalam spirit. Persatuan adalah benteng tertinggi bangsa. Bila benteng itu runtuh, bangsa akan jatuh seluruhnya.


"Dan FKN, dengan kesadaran moralnya, berusaha menjadi bagian dari upaya besar itu menjaga hati bangsa, merawat keberagamaannya, dan memastikan Indonesia tetap menjadi rumah bersama yang utuh, teduh, dan bermartabat," pungkasnya 


(Ridho)