Jarang di Tempat, Korwil WASINDO Luwu Raya Minta Kakan BPN Lutim Dicopot
-->

Advertisement Adsense

Jarang di Tempat, Korwil WASINDO Luwu Raya Minta Kakan BPN Lutim Dicopot

60 MENIT
Selasa, 22 November 2022

Kantor BPN / Pertanahan Luwu Timur di Malili (60menit.co.id)


60MENIT.co.id, Makassar | Pelayanan Kantor Pertanahan/BPN Luwu Timur dikeluhkan warga. Pasalnya, staf kantor pertanahan yang berwenang dan bertanggungjawab atas urusan masyarakat terkait penerbitan sertifikat, selalu tidak di tempat. Bahkan Kepala Kantor (Kakan) Pertanahan, DR. H. Muhallis Menca, dikabarkan sering mangkir karena urusan luar.


Hal ini dilontarkan seorang warga Malili, Musa Karim. Musa yang juga Korwil LSM WASINDO (Pengawas Independen Indonesia) Luwu Raya ini, berulang kali mendatangi Kantor Pertanahan/BPN Luwu Timur untuk urusan penerbitan sertifikat tanah milik keluarganya. Namun setiap datang di kantor tersebut Musa tidak berhasil menemui Muhallis. 


Begitu pun staf yang lain setingkat Kasi (Kepala Seksi). "Saya datang kok Kakannya selalu tidak di tempat. Baru kantornya cepat tutup. Waktu Kakan yang dulu kantornya dibuka sampai malam karena lembur untuk mengejar ketertinggalan pekerjaan yang bertumpuk. Ini sekarang malah jam 2 sudah tutup," ujar Musa Karim, di Kantor Pertanahan Lutim, Senin (21/11). 


Menurut staf Pertanahan setempat, sebagian rekannya ada yang sedang mengantar undangan pernikahan anak Kakan. "Bayangkan dua kali saya datang di kantor BPN ini Kakannya tidak ada. Juga ketua panitia penetapan Ibu Miske. Alasannya mereka di Makassar. Saya datang pertama tanggal 17 bulan ini, kemudian tanggal 21," terang Musa. 


Kedatangan Musa di Kantor Pertanahan Lutim bukan tanpa tujuan. Ia datang untuk membantu pengurusan sertifikat tanah milik adiknya atas nama M. Nawir BM. "Berkas saya dari bulan Pebruari tahun ini sampai sekarang belum ada kejelasan. Bahkan hasil klarifikasi dari BPKH juga sudah ada dan diserahkan ke BPN," beber Musa yang juga Ketua DPC APRI (Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia) Luwu Timur ini. 


Musa Karim, sedang menunjukkan gambar peta lokasi tanah milik adiknya. Gambar ini sebagai Lampiran Surat Perihal Permintaan Klarifikasi No. S.823/BPKH--VII/PKH.2/08/2022 dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kemen LHK. (dok.60menit)


Awalnya, pihak Pertanahan bersurat minta klarifikasi ke BPKH. "Tapi hanya menunggu dari BPKH. Itu sampai kapan kalau hanya menunggu. Alasannya kata kakan karena beda instansi dan tidak punya kapasitas. Akhirnya pemohon sendiri, saya, yang langsung ke BPKH disuruh pihak Pertanahan. Jadi menambah biaya lagi untuk mengambil hasil klarifikasi," jelas Musa. 


Setelah hasil klarifikasi keluar, kata Musa, pihaknya membawa lagi ke BPN. Kemudian menunggu 5 orang anggota panitia penetapan untuk menentukan sertifikat layak diterbitkan atau tidak. Ironis, pemohon sudah mengeluarkan biaya banyak atau biaya besar. "Pertama pembayaran sertifikat itu dengan pengukuran berapa memang. Kemudian mengambil surat klarifikasi itu di BPKH dengan perongkosan ke Makassar. Itu semua 10 juta habis ke Makassar," sebut Musa. 


Pengeluaran lain, setor ke negara Rp.2.662.000 untuk penerbitan sertifikat dan Rp.1.500.000 untuk biaya pengukuran. Ini di luar biaya antar petugas pengukuran. Totalnya semua kurang lebih Rp.15 juta. "Ini begini karena adanya ketidakprofesionalan BPN. Semua orang bermohon diterima uangnya bahkan disuruh menyetor ke negara," ucap Musa.


Seharusnya, tambah dia, BPN mengklarifikasi lebih dahulu sebelum petugas pengukuran turun ke lokasi. "Jangan tim pengukur disuruh dengan mengeluarkan surat tugas, turun. Setelah orang atau masyarakat menunggu tiba-tiba dia menyatakan bahwa itu kawasan. Lha…nah orang sudah berkebun dan tinggal di situ selama 20 tahun. Vale tidak pernah menegur bahwa itu lahan konsesi atau pun pihak Kehutanan menegur bahwa itu tanah kawasan," tegasnya lantang. 


Surat dari BPKH perihal Permintaan Klarifikasi.


Menurut Musa, tanah milik adiknya tersebut berada dalam Area Pengguna Lain (APL). Yang masuk kawasan HL (Hutan Lindung) seluas kurang lebih 0,08 Ha, sedang lahan APL seluas kurang lebih 2,39 Ha. "Kalau yang masuk HL silahkan dikeluarkan dari pengukuran, tapi lahan APL seluas 2,39 Ha itu milik pemohon. Sedang kawasan yang diperuntukkan sebagai daerah penyanggah itu aturan Balai atau BPKH. Jadi tidak ada alasan pihak Pertanahan tidak menerbitkan sertifikat," tandas Musa. 


Kakan Pertanahan Lutim, Munallis, menampik jika dirinya dianggap sering mangkir atau tidak ada di tempat. "Bukan tdk ada pak...kami lagi rapat di Mksr...semua Kasi ku pada rapat hari ini 4 undangan rapat di Pemda,,,coba ketemu Kasi 1 pengukuran...kan tdk harus ketemu Pimpinan...krn jika berkas sdh di pimpinan baru bisa sy beri konfirmasi...sehub berkas belum ke saya makanya saya sarankan ketemu dengan Kasi terkait...dan kalo bisa bawa pemohon langsung biar di berikan penjelasan terkait apa masalahnya, dimana posisinya dan biaya PNBP nya yg terbayar di loket, sy Minggu lalu jumat baru ke Mksr krn Pagi ada permintaan saksi di Polres,🙏," terang Munallis, lewat pesan WA, Senin (21/11).


Munallis juga merespon tentang jam kerja. "Jam 3 loket pelayanan tutup,,,hanya biasa petugas kami menyelesaikan pekerjaan sampai jam 5," timpalnya. Sedang menyangkut berkas pemohon untuk penerbitan sertifikat, kata Munallis, pihaknya akan meminta laporannya. "Nanti sy minta laporannya Pak...jika tdk ada masalah pasti kami akan terbitkan dan jika ada masalah pasti kami tdk terbitkan," responnya. 


Pihaknya, tambah Kakan ini, sejauh ini memang disibukkan dengan tugas kantor di luar. "Sy di Makassar Senin selasa rapat dan kamis ada lagi rapat GTRA. Di Rinra akhir tahun banyak rapat. Kita akan melayani semua pemohon yg penting lengkap dan clear and clean. Mmg repot di Lutim jika ada rapat di Mksr," ketusnya. Diketahui, tanah milik Nawir ini berada di Desa Asuli, Kecamatan Towoti, Lutim. 


(anto)