![]() |
Saprianto Sarungu', Pemuda Toraja Asal Pangala' (redaksi) |
60Menit.co.id, Jakarta | Perayaan dan Peringatan HUT Pahlawan Nasional Pong Tiku yang jatuh pada 10 Juli 2025 merupakan satu bentuk penghargaan terhadap semangat dan nilai-nilai perjuangan Pong Tiku dalam melawan penjajah untuk Kemerdekaan RI agar negeri ini dapat dibangun demi kemaslahatan rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan khususnya Toraja atau warga masyarakat Sangtorayan.
Namun, penghargaan terhadap Pahlawan Nasional Pong Tiku sejatinya masih semu, belum berarti apa-apa. Hal ini dilontarkan Saprianto Sarungu', seorang pemuda Toraja dari Pangala' Riu dan Sekitarnya (PARIS) yang juga kerabat dekat Pong Tiku atau klan generasi Pong Tiku. Kepada media ini, pria yang juga penggiat anti korupsi dari Toraja Transparansi ini, mengatakan, banyak indikator yang dapat dilihat kalau penghargaan terhadap Pong Tiku hanya semu.
“Penghargaan dari pemerintah pusat oke. Cuma dari interen kita masyarakat Sangtorayan belum, kalau saya boleh katakan semu. Penghargaan semu merujuk pada penghargaan yang tampak diberikan, tetapi sebenarnya tidak memiliki makna atau nilai yang sebenarnya. Ini bisa berupa pujian, sanjungan, atau pengakuan yang tidak tulus. Contoh penamaan bandara Toraja Buntu Kuni, seyogyanya kalau kita memang menghargai pahlawan nama yang diberikan Bandara Pong Tiku. Di beberapa daerah juga begitu nama bandara nama pahlawannya,” ujar Saprianto tegas.
Koordinator Investigasi Toraja Transparansi ini, lebih jauh mengatakan, dirinya heran dengan keberadaan dua bandara dalam satu kabupaten yaitu Tana Toraja dimana salah satunya tidak lagi efektif sebagai bandara. Bandara dimaksud berada di kecamatan Rantetayo dengan nama Bandara Pong Tiku. Saprianto salut dengan nama bandara tersebut karena masih menggunakan nama Pong Tiku. “Kalau memang tidak lagi difungsikan sebagai bandara, serahkan saja kembali ke kami masyarakat Rantetayo. Biar kami jadikan lahan perkebunan masyarakat, daripada jadi lahan tidur,” ujar Ingguh, seorang warga Rantetayo, ditemui baru-baru ini
Saprianto menyinggung sekilas tentang survei penentuan lokasi bandara sebelumnya, jauh sebelum keberadaan bandara di Buntu Kuni. “Kalau tidak salah dulu itu ada tim dari DPR RI turun ke Toraja melakukan survei dengan mengambil sampel tiga lokasi selain Buntu Kuni Mengkendek. Dua lokasi lain kalau tidak salah Pong Torra di Kapala Pitu dan Kambuno di Lembang Lili'kira', Kecamatan Nanggala. Hasil survei tim kalau tidak salah merekomendasikan lokasi bandara di Kambuno. Kampung Kambuno ini dinilai layak dan memenuhi syarat, kenapa bisa dialihkan ke Buntu Kuni, makanya kami heran,” tutur Petinggi Pemuda Pancasila Toraja Utara ini.
Hal lain yang dipersoalkan Saprianto Sarungu' adalah keberadaan patung Pong Tiku di Toraja Utara dan Tana Toraja. “Dari soal penempatan patung Pong Tiku saja di dua kabupaten saya sangsi dengan penghargaan kita yang tulus terhadap Pong Tiku. Ini pahlawan nasional pak, sosok yang telah berdarah-darah berjuang melawan penjajah guna merebut kemerdekaan hingga berdiri satu NKRI. Patungnya Pong Tiku di Makale tersembunyi, nyaris tidak kelihatan. Malah yang kelihatan besar patung legenda Lakipadada, di tengah kolam Makale. Kemudian di Toraja Utara, patung Pong Tiku memang besar tapi letaknya di belakang. Ini yang sangat disayangkan. Harusnya yang paling tepat patung Pong Tiku itu di perbatasan Salubarani masuk Toraja, kemudian di daerah Kaleakan masuk Toraja dari arah Palopo,” urainya.
Pria gagah berani ini juga mengkritisi penggunaan kata ‘The Legend’ dalam penyebutan event ‘The Legend of Pongtiku’ yang menurutnya terdapat salah kaprah selama ini. Pasalnya, legend atau legenda, menurut Saprianto, adalah cerita rakyat yang dipercaya pernah terjadi pada masa lalu dan biasanya berkaitan dengan peristiwa sejarah atau tokoh tertentu. Cerita legenda seringkali mengandung nilai-nilai moral dan seringkali dianggap semi-imajiner, mitos, memadukan unsur sejarah dengan elemen cerita yang dikembangkan.
Ia menyebut contoh, cerita Legenda Lakipadada, Legenda Sangkuriang (tentang asal-usul Gunung Tangkuban Perahu), Legenda Saur Sepuh (dari Tibet), Legenda Roro Jonggrang (tentang Candi Prambanan), Legenda Malin Kundang (tentang anak durhaka), Legenda Danau Toba (tentang asal-usul Danau Toba). “Sementara sejarah perjuangan Pong Tiku kisah nyata, Sultan Hasanuddin kisah nyata, bukan legenda. Menggunakan kata legend untuk sebuah perjuangan seorang pahlawan nasional seperti Pong Tiku sama saja merendahkan semangat dan nilai-nilai perjuangan Pong Tiku. Sehingga usul saya yang tepat penyebutan The Pong Tiku's Legacy of Struggle, yang penting jangan dipahami sebagai sebuah legenda,” terang Saprianto.
(james/anto)