![]() |
Suasana lapangan di lokasi objek sengketa (anto) |
60Menit.co.id, Jakarta | Sengketa lahan lazim terjadi di Toraja, di dua kabupaten, Tana Toraja dan Toraja Utara, hingga berujung pada eksekusi lahan dengan menggusur dan menghancurkan bangunan yang ada. Ironisnya jika yang terjadi eksekusi terhadap lahan atau tanah tongkonan dan rumah tongkonan yang ada di atasnya. Rumah tongkonan bukan lagi digusur tapi dihancurkan hingga berkeping-keping. Ini sangat miris, biadab, dan tidak manusiawi.
Hukum menjadi tak lagi mengenal kearifan lokal dengan tradisi dan adat istiadat setempat. “Boleh jadi dengan kondisi ini di era sekarang mafia tanah mulai menggurita dalam penegakan hukum sengketa lahan di Indonesia. Ini yang harus menjadi warning dalam proses peradilan agar putusan hukum itu tidak diskriminatif. Tapi yang diharapkan tercapainya rasa keadilan,” ujar Sekjen WASINDO (Pengawas Independen Indonesia) DR. Haeruddin, dalam satu kesempatan, di Jakarta, baru-baru ini.
Seperti halnya yang terjadi dalam kasus sengketa lahan antara Garin Bulo cs dan Petrus Ferdinand yang sudah berlangsung lama. Kronologisnya dimulai dari Perkara No. 31/Pdt/2016/PN.Mak jo 299/PDT/2017/PT.Mksr jo 243 K/PDT/2019 tentang sengketa tanah yang terletak di Jalan Diponegoro, Kelurahan Pasele, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara. Tanah tersebut milik L Bira’ Lapu (ibu dari Garin Bulo) sebagaimana tercatat dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 194 tahun 1998 seluas 240 M2 yang kemudian dieksekusi paksa.
Pihak Garin Bulo berharap pemaksaan eksekusi itu bukan merupakan hasil kerja dari mafia tanah yang jadi momok masyarakat selama ini. Garin Bulo cs melalui Kuasa Pelapor, Rustan Serawak, S.Sos, telah menyampaikan beberapa poin keberatan atas Eksekusi lalu seperti tertuang dalam suratnya ke sejumlah instansi terkait tanggal 15 Juni 2025 perihal Permohonan Perlindungan Hukum atas Dugaan Tindak Pidana dalam Proses Eksekusi Tanah di Jl. Diponegoro, Kel. Pasele, Kec. Rantepao, Kab. Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
![]() |
Surat Keterangan tentang Tanah Atas Nama Sari. |
Dalam suratnya itu dibeberkan beberapa kejanggalan terkait Putusan Pengadilan No. 31/Pdt/2016/PN.Mak jo 229/PDT/PT.Mks jo 243 K/PDT/2019 dimana Pemohon atas nama Petrus Ferdinand Patanggu dinyatakan menang melawan Termohon atas nama Garin Bulo. Dalam Berita Acara Eksekusi Pengosongan No. B/Pen.Pdt.Eks/2024/PN.Mak dinyatakan objek eksekusi adalah sebidang tanah di Jl. Diponegoro, Kelurahan Pasele, Kecamatan Rantepao, Toraja Utara, berdasarkan SHM 933/Pasele Tahun 1990 seluas 265 M2 seperti tercantum dalam gambar situasi tanggal 12 Januari 1987 No. 10/1998 atas nama Sari.
Tanah tersebut kemudian beralih hak menjadi milik Petrus Ferdinand Patanggu sesuai SHM No. 285/Pasele lewat AJB tanggal 24 Desember 2005 No. 185/JB/KR/XII/2005. Namun Eksekusi yang dilakukan 20 Desember 2024 lalu tidak sesuai dengan ketentuan dalam Berita Acara Eksekusi. Pasalnya, objek eksekusi pengosongan hanya seluas 265 m2 tapi kenyataannya di lapangan menjadi 378 m2. Selisih 113 m2 tidak masuk dalam amar putusan. Akibatnya, luas tanah L Bira’ Lapu yang semula 240 m2 dalam SHM 194/Kelurahan Pasele Tahun 1998 berdasarkan Gambar Situasi No. 1053 tanggal 22 Desember 1997 susut menjadi kurang lebih 127 m2.
Jangankan soal luasan tanah yang kontroversial, tanah dengan SHM No. 933 seluas 265 m2 atas nama Sari yang berubah jadi milik Petrus Ferdinand itu, berdasarkan Surat Keterangan Lurah Pasele No. 360/KP/VIII/2004 tanggal 12 Agustus 2024 ditandatangani Hartugus Sandalinggi, SH, MH, dinyatakan tidak terdaftar dalam Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP). Kemudian diperkuat dengan keluarnya Surat Keterangan (Suket) No. 900.1.13.1.340/BAPENDA 24 Juli 2025 ditandatangani Kepala Badan Pendapatan Daerah Pemkab Toraja Utara Drs. Paris Salu, SH, M.Si.
Suket tersebut menerangkan bahwa SHM No. 933 tanggal 5 Desember 1990 atas nama Sari dengan Surat Ukur No. 10 Tahun 1987 tanggal 12 Januari 1987 seluas 265 m2 belum terdaftar di Aplikasi Simpada PBB-P2. Juga tidak terdaftar dalam Peta Blok 001 Kelurahan Pasele, Kecamatan Rantepao Tahun 2016 dengan Skala 1:1000, KP.PBB/DPKD Kabupaten Toraja Utara dengan Kode Wilayah 73.19.070.009 yang ada pada BAPENDA Toraja Utara.
![]() |
Peta Blok Tanah Atas Nama Sari. |
Keluarnya Suket dari BAPENDA ini merujuk pada Surat Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Bahwa SHM No. 933 Tahun 1990 Pasele, Surat Ukur No. 10 Tahun 1987 Luas 265 m2 Atas Nama Sari Tidak Terdaftar di DHKP serta Tidak Ada Dalam Gambar Peta Blok Pada Kantor BAPENDA Toraja Utara. Surat dari Garin Bulo tersebut ditujukan ke Bupati Toraja Utara Up. Kepala BAPENDA Toraja Utara.
“Saya bikin surat keterangan ini sesuai data dan fakta yang kami miliki dengan tujuan ada kepastian hukum bagi masyarakat,” beber Kepala BAPENDA Torut Paris Salu, di Kantor BAPENDA di Marante, sesaat sebelum ia memenuhi Undangan Klarifikasi dari Kasat Reskrim Polres Toraja Utara, IPTU Ruxon, SH, hari ini, Senin, 4 Juli 2025, sekitar pukul 10.00 WITA.
Gelar perkara sengketa tanah ini sendiri telah dilaksanakan 30 Juli 2025 namun tidak tuntas karena masih ada hal krusial yang perlu klarifikasi terkait keberadaan tanah Sari berdasarkan SHM No. 933 Tahun 1990 Pasele, Surat Ukur No. 10 Tahun 1987 Luas 265 m2. “Ini yang sangat esensial. Jadi dua poin penting yang harus digaris bawahi dalam kasus ini. Pertama soal tanah atas nama Sari. Ada sertifikat tapi objeknya tidak ada. Tidak ada Nomor Objek Pajaknya, berarti patut dipertanyakan keabsahan dan legalitas sertifikatnya. Ini kalau berdasarkan Suket Lurah Pasele dan Suket Kepala BAPENDA. Kemudian luasan objek yang dieksekusi yang lalu 378 m2 padahal dalam amar putusan hanya 265 m2 ada apa ini,” tegas Rustan Serawak seraya meminta kasus ini dibuka terang benderang guna mengungkap apa sesungguhnya yang terjadi di balik sengketa lahan ini dengan adanya kejanggalan dalam penerbitan sertifikat dan putusan hukum.
(cok/anto)