Konsorsium Penyelamatan Cikuray Serukan Aksi Kepung Gedung DPRD Dan Pemkab Garut.
-->

Advertisement Adsense

Konsorsium Penyelamatan Cikuray Serukan Aksi Kepung Gedung DPRD Dan Pemkab Garut.

Wak Puji
Sabtu, 29 Februari 2020



60menit.com, Garut - Menyikapi pembukaan jalan yang dimulai dari Kecamatan Cilawu sampai Kecamatan Banjarwangi yang dilakukan pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, lebih dari 100 komunitas masyarakat yang tergabung Konsorsium Penyelamatan Cikuray, menyerukan dan mengajak aksi unjuk rasa turun ke jalan.

Dasar pertimbangan Konsorsium pada rencana aksinya memprotes pembangunan jalan tersebut yang menilai Kegiatan dan rencana pembangunan jalan poros antar Kecamatan Cilawu- Banjarwangi berada di daerah tangkapan air/hulu sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikaengan dan Ciwulan.

Koordinator Umum Konsorsium Penyelamatan Cikuray, Aa Usep Ebit Mulyana, yang dikonfirmasi melalui sambungan selularnya mengatakan,  Sungai Cikaengan merupakan sungai yang menjadi sumber air bagi areal pesawahan, perikanan dan untuk kebutuhan air bersih masyarakat, selain itu di sungai Cikaengan sedang di bangun bendungan untuk kepentingan energi pembangkit listrik/mikrohydro, sehingga dampak kerusakan hulu sungai sebagai sumber mata air akan menimbulkan kerugian besar, bukan hanya untuk masyarakat tapi kerugian bagi negara terkait suplay kebutuhan listrik, Jumat (28/02).

“Juga sungai Ciwulan yang mengalir ke Kecamatan Cilawu serta melintas Kabupaten Tasikmalaya dan bermuara di laut selatan, tentu memiliki fungsi strategis bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat baik yang terkena dampak langsung maupun masyarakat umum, karena hilangnya sumber-sumber pangan akan menyebabkan krisis dan penurunan stabiltas negara”, ujarnya.


Ebit juga mengatakan, Kegiatan dan rencana pembangunan jalan poros Cilawu- Banjarwangi berada dikawasan yang memiliki struktur tanah yang labil dengan tingkat kecuraman yang tinggi, sehingga ini dapat menimbulkan peningkatan kerentanan bencana longsor dan banjir bandang, selain itu dengan tingkat kegemburan tanah yang tinggi pada kawasan pegunungan, maka kerusakan daerah ini akan menimbulkan dampak erosi yang berbahaya bagi kehidupan dikawasan tersebut.

“Pembangunan jalan poros Cilawu-Banjarwangi berada di Kawasan hutan yang menjadi habitat satwa-satwa dilindungi seperti Macan Tutul, owa Jawa, Elang, Lutung, Merak hijau dan lain-lain ini tentunya pembangunan jalan ini akan merusak ekosistem Kawasan yang berdampak bagi kepunahan satwa-satwa dilindungi tersebut”, tegasnya.

Diungkapkan juga dalam beberapa tahun terakhir terjadi penguasaan lahan yang cukup luas oleh para pejabat dan pengusaha, di arel perencanaan pembangunan jalan poros kecamatan Cilawu dan Kecamatan Banjarwangi, sehingga memunculkan kehawatiran kedepan penguasaan lahan akan semakin didominasi oleh para konglomareat, dan masyarakat hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri.

“Selain itu muncul kecurigaan bahwa kepentingan pembangunan tersebut bukan semata untuk kepentingan transportasi masyarakat, dengan melihat potensi wisata, pertanaian dan diindikasi ada potensi pertambangan mineral emas”, terang Ebit.

Bukan itu saja, lanjut Ebit, pembangunan jalan poros Cilawu-Banjarwangi melintasi Kawasan tanah KONGSI/lahan yang dimiliki oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), yang saat ini pengelolaannya belum begitu jelas, hal ini dikhawatirkan kedepan akan memicu konflik agraria.


“Pembukaan jalan tersebut terkesan tergesa-gesa dan banyak di tutupi oleh pelaksana pembukaan jalan, sehingga memunculkan kecurigaan terdapatnya pelanggaran- pelanggaran prosedur dan ketidak benaran mengenai pengelolaan program pemerintah dalam pengerjaan kegiatan serta menimbulkan polemik dimasyarakat”, jelasnya.

Diterangkan pula, jalur yang digunakan dalam pembukaan jalan, tidak sesuai dengan rute yang pernah dilakukan survey oleh pihak PUPR, sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Bahkan pembukaan jalan dan perencanaan pembangunan jalan Cilawu-Banjarwangi tidak sesuai dan terindikasi melabrak beberapa peraturan perundang- undangan, diantaranya sebagai berikut:
  1. Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
  3. Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya.
  4. Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
  5. Undang-Undang nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
  6. Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
  7. Peraturan pemerintah nomor 27 tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.
  8. Peraturan mentri pekerjaan umum nomor 19/PRT/M/2011 Persyaratan teknis jalan dan kriteria perencanaan teknis jalan.
  9. Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2012 tentang Pedoman Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Jalan.
  10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menljk/Setjen/Kum.1 /6/2016 pedoman pinjam pakai Kawasan hutan.
  11. PERDA Tata Ruang Kabupaten Garut no 6 Tahun 2019, perubahan atas Peraturan Daerah Kabuaten Garut no 29 tahun 2011. (Djie)