![]() |
| Kondisi lokasi tambang galian C milik Slamet di Sungai Kalaena, Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, yang diduga illegal. (dok. Tim Redaksi 60menit.co.id) |
60Menit.co.id, Jakarta | Praktik penambangan liar galian C di Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, kian menggila. Berbagai media sejauh ini terus mem-blow up persoalan mengenai ini. Namun ekspos media tentang Pertambangan Tanpa Izin (PETI) ini seolah tidak digubris para penambang liar. Pihak APH (Aparat Penegak Hukum) pun seolah hanya diam dan membiarkan para penambang ilegal itu beraksi dengan leluasa.
Padahal, pihak Polres Luwu Timur, berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, kerap menerima laporan dan informasi tentang tambang galian tersebut namun tidak jelas tindakan yang diambil. Begitupun, pihak Dinas ESDM Sulsel, sering menurunkan personil ke Lutim setelah menerima laporan. Tindak lanjut dan hasilnya juga tidak diketahui. Kondisi terkini penambangan liar di Lutim makin menjadi-jadi.
Apalagi dikaitkan dengan pekerjaan proyek yang ada. Material yang digunakan sering berasal dari lokasi tambang ilegal. Contoh kasus, Proyek Rekonstruksi Bangunan Pengaman Jembatan Desa Kawata, Kecamatan Wasuponda. Anggaran proyek yang dikerja CV. Tompotikka Jasa Go ini bersumber dari dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi Pemkab Luwu Timur melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah tahun anggaran 2025.
Sayangnya, material proyek ini seperti batu dan pasir, diduga didatangkan dari lokasi tambang galian C tidak berizin. Dari pantauan awak media, pekerjaan pembuatan turap penyangga pipa paralon ditancapkan dan diisi dua batang besi. Sebagian pipa sudah hancur akibat tekanan alat berat eksavator saat beroperasi. Anggarannya tertera di papan proyek sebesar Rp.1,31 milliar.
“Kalau kami lihat dan nilai pekerjaan dari kontraktor CV. Tompotikka Jasa Go selaku pelaksana pekerjaan, tidak sesuai RAB. Material batu dan pasir kami duga berasal dari tambang galian C tidak berizin, lokasinya berdekatan dari tempat kegiatan proyek,” ujar seorang warga ditemui di Malili, baru-baru ini.
Warga yang enggan disebut namanya ini, meminta aparat berwenang di Lutim untuk memeriksa pekerjaan CV. Tompotikka Jasa Go. “Aparat penegak hukum di Luwu Timur kami minta ketegasannya untuk memeriksa pekerjaan CV. Tompotikka Jasa Go. Ini dimaksudkan agar proyek yang dikerja berjalan baik dan berkualitas sehingga memenuhi azas manfaat bagi warga desa Kawata,” pintanya.
Soal pasokan material dari tambang galian C ilegal untuk proyek, Direktur Eksekutif Pengawas Independen Indonesia (WASINDO), Drs. Tommy Tiranda, memberi ‘warning’ kepada para pelaku usaha atau korporasi serta perorangan di bidang konstruksi. “Perusahaan atau perorangan yang membeli material Galian C tidak mengantongi izin atau illegal dapat dipidana sesuai peraturan dan Undang-Undang yang berlaku,” ujar Tommy, ketika dihubungi melalui telepon genggam, Kamis (2/10) sore.
![]() |
| Direktur Eksekutif WASINDO, Drs. Tommy Tiranda. (dok. 60menit.co.id) |
Pasalnya, kata Tommy, membeli material dari tambang ilegal itu sama halnya dengan membeli barang curian atau bisa disebut penadah. “Pembeli atau pemasok material seperti pasir dan batu bersumber dari Galian Illegal bisa saja dikatakan penadah, karena tidak berizin. Jadi, bukan saja pengusahanya yang terancam pidana namun juga pembelinya,” timpal Tommy.
Menurut penggiat anti korupsi yang juga jurnalis senior ini, setiap material yang bersumber dari aktivitas ilegal tentu hasilnya juga ilegal. Sedangkan pasal 480 KUHP cukup jelas menyebutkan, barang yang dibeli atau disewa dari hasil kejahatan itu dapat dipidana. “Maka dari itu, pembeli seperti itu dapat dikategorikan sebagai penadah, karena membeli dari hasil ilegal, ancaman hukumannya bisa 4 tahun penjara,” tegas Tommy.
UU Nomor 3 Tahun 2020 pasal 158 menyebutkan, bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi bisa dipidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Masalahnya lagi jika setiap proyek infrastruktur yang dikerjakan menggunakan material Galian C tetap membayar retribusi atau pajak Material Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Pajak tersebut disetor melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) setempat.
Setoran sejumlah material yang digunakan sesuai kontrak proyek yang ditanda-tangani, atau, 15 persen dari nilai harga satuan material dikali berapa banyak material digunakan. “Dan saya juga sependapat, kalau selama ini ada media yang menyuarakan tentang pengusaha Galian C tidak berizin, bagaimana perasaan perusahan yang mengantongi izin dan selalu membayar pajak, sementara Pemda dalam memungut retribusi atau pajak MBLB tidak memperhatikan latar belakang sumber material Galian C tersebut,” terang Tommy.
Dengan demikian, tandas Tommy, Pemerintah Daerah khususnya Luwu Timur, dilarang keras menggunakan material dari penambangan ilegal Galian C karena bertentangan dengan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana bagi pejabat serta pihak terkait. Juga berpotensi menimbulkan kerugian negara dan membuka celah KKN, serta berdampak buruk pada lingkungan.
Pejabat dan pihak yang terlibat dalam proyek yang menggunakan material ilegal dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk pidana penjara dan denda. Penambangan ilegal juga tidak memperhatikan aspek lingkungan dan dapat menyebabkan kerusakan lahan, pencemaran air dan udara, serta degradasi ekosistem.
Selain itu, penggunaan material yang tidak jelas sumber dan legalitasnya juga tidak menjamin kualitas proyek pembangunan. Aparat penegak hukum dan instansi terkait seperti Kementerian ESDM dan Kepolisian harus bertindak tegas untuk menertibkan tambang ilegal dan mencegah dugaan praktik penyalahgunaan material di Luwu Timur.
![]() |
| Tampak foto adegan perlakuan Slamet cs sedang menghadang para jurnalis lokal yang sedang bertugas mengambil gambar pada lokasi tambang galian C yang diduga ilegal milik Slamet. (dok. 60menit.co.id) |
Intimidasi Wartawan
Tommy Tiranda juga mengecam keras intimidasi yang dilakukan oknum penambang liar di Luwu Timur terhadap wartawan yang mengambil gambar lokasi tambang ilegal galian C. Jurnalis lokal yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan saat meliput dugaan aktivitas tambang ilegal di Sungai Kalaena, Kecamatan Mangkutana, 1 Oktober 2025, lalu adalah Muliadi.
Perlakuan Slamet cs terhadap Muliadi ini ditunjukkan lewat video berdurasi 1 menit 48 detik dan viral di media sosial seperti Facebook. Muliadi bersama rekannya tengah berada di atas sepeda motor dan tiba-tiba dihampiri sejumlah orang. Salah satu dari mereka, diketahui bernama Slamet, mengenakan kaos hijau, dengan nada tinggi mengatakan, “Kalau masuk di sini permisi dulu, kurang ajar semua ini.”
Seorang pria lain berbaju hitam kemudian mendekati Muliadi dan bertanya dengan nada intimidasi, “Kau yang ma foto-foto?” Bahkan, dalam rekaman terdengar ucapan ancaman, “nda bisa pulang”. Slamet cs juga sempat memaksa agar jurnalis tersebut memperlihatkan foto-foto hasil dokumentasi yang diambil di lokasi tambang.
Tindakan ini, kata Tommy, merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers yang dijamin undang-undang. “Intimidasi terhadap wartawan ini jelas melanggar Pasal 18 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Siapapun yang secara sengaja menghalang-halangi atau menghambat kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda hingga Rp 500 juta,” bebernya.
Atas kejadian ini, Tommy meminta aparat kepolisian di Luwu Timur segera turun tangan mengusut kasus ini. Ia menilai perlindungan terhadap jurnalis tidak bisa ditawar-tawar karena berkaitan langsung dengan tegaknya demokrasi dan juga mengancam kebebasan pers yng menjadi pilar demokrasi.
“Aparat kepolisian harus segera mengusut dugaan intimidasi terhadap rekan jurnalis di Luwu Timur. Polisi harus menjamin hak-hak jurnalis dalam menjalankan tugas yang sudah dijamin konstitusi dan undang-undang,” ketusnya.
Bila perlu, kata Tommy, terduga pelaku pengancaman itu segera diamankan dan diproses lanjut. “Intimidasi terhadap jurnalis bukan sekadar persoalan individual, melainkan ancaman terhadap ruang demokrasi secara luas. Karena itu harus ada tindakan segera dari pihak berwenang dengan mengamankan para terduga pelaku pengancaman,” ucapnya.
(cok/anto)





